SURAT TERBUKA UNTUK IBU GUBERNUR JAWA TIMUR
Dari Masyarakat Pulau Sapudi
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Dengan segala kerendahan hati yang kadang terasa seperti retorika klise dalam rapat-rapat birokrasi, kami, masyarakat Pulau Sapudi, mencoba kembali mengetuk pintu hati Ibu Gubernur Jawa Timur, Ibu Khofifah Indar Parawansa.
Ibu yang kami hormati,
Menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW, rindu kami kian menggelembung seperti ombak di lautan Sapudi. Rindu yang ingin kami labuhkan di Situbondo, di pondok-pondok pesantren besar: Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Nurul Huda Nyamplong, Wali Songo, Sumber Bunga, Nurul Jadid. Di sanalah anak-anak kami meneguk ilmu, di sanalah doa para kiai kami harap menjadi pelita hidup.
Namun, rindu kami kerap karam sebelum berlabuh. Bukan karena badai, bukan pula karena ombak besar, melainkan karena kapal feri—nadi kehidupan kami—lebih sering berlagak seperti pejabat malas: tak menentu jadwalnya, tiba-tiba mogok, atau sekadar mampir ke pelabuhan lalu menghilang entah ke mana. Kami, yang hendak menyeberang, hanya bisa was-was, seakan setiap perjalanan bukan ziarah rindu, melainkan undian nasib antara hidup dan mati.
Ibu Gubernur,
Kami tahu Sapudi ini kecil, seperti titik koma yang nyaris tak terbaca dalam paragraf panjang pembangunan Jawa Timur. Tapi tidakkah Ibu tahu, titik koma juga bisa mengubah makna kalimat? Kapal bagi kami bukan sekadar transportasi: ia adalah jembatan kasih, perahu doa, bahkan satu-satunya penghubung kami dengan tanah air yang katanya sedang giat membangun. Apa artinya pembangunan jalan tol megah di kota bila kami di pulau masih berdoa agar kapal tak mogok di tengah lautan?
Kami tidak meminta kapal mewah berpendingin udara. Cukuplah kapal yang tidak mengkhianati janji keberangkatan, kapal yang tidak membuat nyawa kami terasa seperti angka statistik di laporan Dinas Perhubungan. Apakah terlalu mahal bagi negara untuk memberi rakyatnya jaminan berlayar tanpa rasa was-was?
Ibu,
Doa kami sederhana. Semoga Allah melembutkan hati Ibu, seperti lembutnya hati seorang ibu ketika mendengar tangis anaknya. Sebab, bila suara kami tak juga terdengar, jangan salahkan bila doa itu berubah menjadi satire pahit—sebuah doa rakyat kecil yang lebih tajam daripada kritik di media massa.
Hormat kami,
Atas nama masyarakat dan pemuda Pulau Sapudi
Habibullah
Pemuda Desa Tarebung, Pulau Sapudi
Kabupaten Sumenep