Apa yang kita lihat dan kita pikirkan serta yang kita tahu akan sastra? Mengapa kita butuh sastra dalam hidup? Mengapa saat ini sedikit sekali yang menjadi peminat?
Dari segala jenis pertanyaan-pertanyaan yang kita utarakan diatas setidaknya yang perlu kita jawab adalah pertanyaan yang pertama yaitu apa itu sastra, karena pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah turunan dari pertanyaan awal.
Sastra menurut Endraswara adalah berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sas” dan “tra”, sas artinya adalah alat dan tra sendiri adalah kebijaksanaan, secara sederhana sastra memiliki definisi alat atau sarana untuk mencapai kebijaksanaan tentunya melalui ramuan bahasa yang indah (estetis).
Nah, dalam sebuah kehidupan, siapa sih yang tidak mau akan keindahan. Siapa sih yang tidak ingin berlaku bijak (menjadi bijaksana). Mungkin dalam dibenak kita selanjutnya adalah narasi tanya, apakah orang yang bergelut dalam dunia sastra (satrawan) akan mampu menjadi hal itu? Hakikatnya kita sebagai manusia tidak pernah betul-betul berada pada titik akhir dari sebuah harapan atau keinginan. Manusia selalu menapaki suatu jalan yang dikenal sebagai (proses, menuju). Sedangkan titik akhir dari sebuah laku perjalan adalah kematian, jadi sebelum kita sampai pada titik akhir yang bernama kematian tersebut, kita selalu menapaki yang namanya sebuah proses menjadi atau istilah filsafatnya kita sebagai eksistensi diri.
Dunia selalu berputar dengan segala keanekaragaman serta pola-polanya, dan semua berjalan laksana bara api yang menyebabkan paradigma berpikir dan bertindak penuh dengan kegersangan (dekradasi ataupun dekadensi) moral. Bahkan Agama yang notabenya adalah sebagai alat fentilator atas panasnya fenomena, justru saat ini menjadi sebuah bilik tirai perlindungan dibalik kepentingan ego dan politik pribadi serta identitas kelompok.
Lalu mengapa itu terjadi? Sebab hati kita tidak pernah dihiasi keindahan (sastra) sehingga apapun yang menghampirinya selalu disambut dengan kekakuan. Pembawa citra agama (kaum agamawan) tidak pernah membawa sastra sebagai alat media penyalur kesempurnaan agama. Sehingga agama yang kita terima tidak lagi sejuk, indah, dan menentramkan. Benar kata MH. Ainun Najib yang menyatakan “jika kita melihat agama tidak lagi menampakkan keindahan dan kesejukan, bukan agama itu yang harus kita salahkan dan kita permasalahkan, namun yang membawa agama yang perlu kita pertanyakan”.
Dari progres kebaikan yang telah diutarakan diatas muncul persoalan baru, mengapa para kawula muda saat ini jarang meminati sebuah ilmu (sastra) yang menurut penulis sendiri dianggap sebagai ilmu yang luar biasa. Apakah logis bila ada ada ilmu yang luar biasa tapi sepi peminat! Bukankah kawula muda adalah tempat merekahnya jiwa, hati dan perasaannya. Lalu mengapa dunia sastra tidak dan menembus atau memasuki jiwa serta pikirannya. Hal ini perlu kita gali dan cermati lebih lanjut. Terutama para pegiat seni budaya dan satra. Supaya lebih intens dan serius lagi supaya sastra dapat dijangkau oleh anak muda sebagai penerus kita
Sudah kutapaki jaring kata-kata
Sudah kutuang semua kedalam bahasa
Sudah ku tabur bunga yang merekah
Bahkan telah ku petik dan kuperlihatkan
Akar bunga dalam tanah sebagai tanda
Namun tak jua hatimu berjingkrak
menghampiri kebun bebungaan
yang menjadi ladang masa depan
Keindahan jiwa rohaniahmu
Entah harus bagaimana aku bicara
Kilat guntur telah menemani rautan malam
Tapi kau tak mau bangun dalam kesadaran
Hujan telah memeluk pohon dan bebungaan
Tetapi tetap saja kau membiarkan gigil dikesendirian
Lembaran awan yang jatuh dari langit jiwa
Tersembunyi di bilik sepi goa-goa
Nyanyian debur ombak selalu menemani
Sudut langit yang berhias cahaya
Biarlah hujan reda sendiri
Karena bunga telah menari
Meski embun dan hujan
Saat ini mulai berjalan
Mengiringi panas teriknya matahari
Oleh : F. Jatmiko