Jeritan Pulau Sapudi
Masih tersimpan di dada, aksara yang luka,
Di pulau yang mengambang, Sapudi namanya.
Pulau yang terombang-ambing, di tengah badai ombak,
Dan karang yang tajam, menusuk hingga ke dasar.
Mereka menahan napas, menahan amarah,
Memikirkan lautan, yang tak pernah ramah.
Menanti kapal yang sakit, tiada berujung,
Yang hanya membawa duka, tanpa solusi.
Ada yang bersuara lantang,
Mengetuk pintu penguasa,
Ada yang bermunajat, bersujud,
Menunggu pintu langit terbuka.
Ada yang jatuh terhimpit,
Suara mereka tak terdengar,
Hanya dianggap deru angin yang hilang.
Wahai pemimpin, wahai raja, wahai ratu,
Kalian punya kuasa untuk mengubah nasib kami,
Bukan karena kami lemah,
Tapi karena janji suci yang telah kau ucapkan.
“Dharma baktimu untuk rakyat, aku dari rakyat.”
Lalu, bagaimana kini?
Kapal tua itu,
Telah lelah berlayar,
Hampir karam, tak berdaya.
Dipaksa berlayar, walau tak sanggup,
Hingga menjadi ancaman,
Tak inginkah kau,
Menjadikannya legenda?
Kami mau bicara ke mana lagi,
Selain pada puisi yang tak berdaya,
Kami berharap tuan dan nyonya,
Mengerti jeritan hati kami,
Penduduk Pulau Sapudi.
Gayam, Agustus 2025