Sumenep, Pamorrakyat.com // Kesenian Macopat di Kecamatan Gayam, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, kini mengalami fase “mati suri”. Minimnya pelaku seni dan pegiat budaya di setiap desa, ditambah rendahnya minat generasi muda untuk belajar dan terlibat dalam kesenian ini, menjadi penyebab utama. Padahal, budaya merupakan jati diri yang mencerminkan identitas bangsa.
Kondisi ini mendorong Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) MWC NU Kecamatan Gayam untuk mengambil langkah nyata. Mereka menggagas upaya menggerakkan kembali para budayawan Macopat di tiap desa, agar kesenian tradisional ini dapat kembali hidup, dikenal, dan menjadi ruang pembelajaran bagi generasi muda.
“Malam ini, kami para budayawan Macopat berkumpul untuk membahas eksistensi budaya Macopat di Pulau Sapudi, khususnya di Kecamatan Gayam. Dengan silaturahmi ini, kami berharap terbentuk wadah di bawah naungan LESBUMI yang bisa menjadi tempat para pemangku budaya untuk mengenalkan Macopat, sekaligus ruang belajar bagi generasi muda,” ujar Ketua LESBUMI MWC NU Kecamatan Gayam, Feri Jatmiko, yang akrab disapa Cak Feri.
Feri menambahkan, pertemuan ini melibatkan pemuda dan budayawan dari sepuluh desa di Kecamatan Gayam. “Alhamdulillah, respon dan apresiasi mereka luar biasa. Semangat untuk melestarikan dan menyebarkan budaya Macopat benar-benar terlihat. Semoga ke depan, para pemuda semakin sadar akan pentingnya menjaga tradisi warisan leluhur mereka,” tutupnya.
Acara silaturahmi dan diskusi ini digelar di kediaman Ketua LESBUMI di Dusun Preng Batu, Desa Karang Tengah, pada Kamis, 26 Desember 2024. Sebanyak 20 peserta hadir, termasuk para budayawan dari berbagai desa seperti Habibullah (Tarebung), Sahlan, Nur Hadi (Jambuir), Munawi, Nikmat, Mathani (Nyamplong), Absar, Salamet (Gendang Barat), Ahmat, Matrawi (Karang Tengah), Saha, Ramli (Pancor), dan Nawar (Prambanan). Turut hadir pula Pengurus MWC NU Kecamatan Gayam, yakni Ketua Tanfidziyah Drs. Syamsul Maarif dan Sekretaris NU Ustaz Saleh.
Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa setiap dua minggu sekali akan diadakan pertemuan secara bergilir dari rumah ke rumah untuk belajar dan menembangkan Macopat. “Kami siap membimbing siapa pun yang ingin belajar Macopat, baik melalui pertemuan rutin maupun les privat di rumah,” ujar Bapak Saha, salah satu pegiat budaya Macopat.
Para peserta berharap agar semangat masyarakat dalam menghidupkan kembali Macopat ini mampu mendorong perhatian pemerintah. Paling tidak, budaya seperti Macopat dapat diajarkan sebagai muatan lokal di tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Karena tanpa regenerasi yang berkelanjutan, upaya melestarikan tradisi luhur ini akan sia-sia.
Penulis: Redaksi