Uncategorized

BALADA PERJUANGAN ANAK PULAU (Mogoknya Kapal Feri Milik PT. DDU yang Melayani Rute Antar Pulau Serta Diamnya Pemerintah)

×

BALADA PERJUANGAN ANAK PULAU (Mogoknya Kapal Feri Milik PT. DDU yang Melayani Rute Antar Pulau Serta Diamnya Pemerintah)

Sebarkan artikel ini
Kapal Feri rute Kaleanget sapudi jangkar

 

BALADA PERJUANGAN ANAK PULAU (Mogoknya Kapal Feri milik PT. DDU yang melayani rute antar Pulau, serta diamnya Pemerintah)

Senja di Pelabuhan Tarebung selalu punya caranya sendiri untuk melarutkan hati. Cahaya jingga melukis langit, sementara bayangan perahu kecil dan besar berjejer pasrah di bibir laut. Rendi berdiri termenung, matanya kosong menatap laut yang tak pernah lelah menampung segala rahasia. Di kepalanya, angan-angan berputar: seandainya transportasi laut di Pulau Sapudi diperhatikan oleh pemerintah mungkin semua tak akan semrawut begini, dan mungkin perjalanan hidup warganya akan lebih tenang, serta ekonominya akan matang, ucap Rendi dibenaknya.

Namun bayangan indah itu seketika buyar. Ia teringat betul bagaimana tubuhnya beberapa hari lalu hampir ditelan ombak, ketika kapal feri tua milik PT Dwipa Dharma Utama (DDU) kembali mogok—lagi.

24 Agustus 2025. Rendi menaiki kapal tua itu dari Sumenep menuju Sapudi. Sahabatnya, Kholil, duduk di sampingnya, mencoba menghibur diri dengan bercanda, padahal wajahnya sendiri pucat pasi.

Tiba-tiba—dummm—mesin kapal berhenti berderu. Senyap. Hanya suara ombak dan angin kencang memecah kesunyian.

“Mesinnya mati! Ya Allah…” suara seorang penumpang perempuan pecah jadi jeritan.

Kapal oleng ke kiri, lalu ke kanan. Ombak besar mengguncang seperti hendak menelan seluruh penumpang. Anak-anak menangis, ibu-ibu histeris, lelaki-lelaki berteriak mencoba menenangkan, tapi suaranya kalah oleh deru badai.

“Rendi! Kapal kita dibawa arus!” Kholil berteriak, tangannya gemetar menggenggam besi pagar kapal.

Rendi hanya bisa mengelus dada. Tubuhnya basah kuyup oleh percikan ombak. Dalam hati ia bergumam: Beginikah nasib kami, pulau kecil yang selalu dianggap buih di samudera kebijakan pemerintah yang tak pernah melihat nasib pulau kita pulau Sapudi?

Beberapa penumpang hampir saja jatuh, karena kapal sudah mulai oleng. Jeritan, doa, dan isak tangis bercampur jadi satu.

Trending :
CV Indah Berkah Rejeki Situbondo Rayakan Satu Tahun Pabrik Baru di Buduan

“Ya Allah… selamatkan kami! Jangan biarkan anak-anak kami mati di laut!” seorang ibu meraung dalam derai dan tangisnya

Di tengah ketegangan itu, Rendi menggenggam tangan Kholil erat-erat. “Kalau kita selamat, Kholl… aku janji, aku tak akan diam lagi soal kapal tua dan tak layak jalan ini!”

Dan benar, Tuhan masih memberi napas. Setelah terombang-ambing, kapal berhasil diseret arus menuju perairan yang lebih tenang.

Begitu turun di Pelabuhan Sapudi, Rendi langsung sujud syukur. Air matanya pecah, pipinya basah bercampur sisa air laut.

“Ya Tuhan… terima kasih Engkau masih memberi kesempatan hidup.”

Ia menoleh ke arah sahabatnya, Dika, yang menepuk pundaknya sambil berucap, “Ren, kapal ini memang sudah tua, tapi… ketimbang dulu tidak ada feri, bukankah ini lebih baik? Mau mogok, mau rusak, kita harus tetap bersyukur.”

Rendi mendelik, nadanya meninggi.
“Bersyukur? Dik, apa bersyukur itu artinya membiarkan nyawa kita jadi taruhan? Kapal ini tua, kecil, rapuh, tak layak untuk pulau yang sudah berkembang. Masyarakat yang ingin ke daratan, mau ke Sumenep, mau ke Situbondo, masyarakat yang sebagai pedagang, orang sakit—semua menggantungkan hidupnya pada kapal yang setiap saat bisa karam ini!”

Dika mencoba melawan, “Tapi kalau pemerintah belum bisa kasih yang baru? Kita ini siapa? Hanya pulau kecil, jangan menuntut terlalu banyak.”

Rendi menepuk dada, emosinya memuncak.
“Itulah penyakit kita! Selalu diajari untuk menerima! Kita ini warga negara, bukan anak tiri republik. Pulau Sapudi berhak atas transportasi yang aman! Kalau terus diam, nyawa kita hanya dianggap angka statistik. Aku tidak mau mati sia-sia di laut hanya karena kapal tua tak diganti!”

Dika terdiam. Mata semua orang yang mendengar tertuju pada Rendi. Dan hari itu, Rendi tahu, ia telah memenangkan perdebatan.

Trending :
Peringatan Maulid Nabi di Masjid Marta'ul Muhtadin Karang Tengah Berjalan Khidmat

Hari-hari berikutnya kapal tua itu benar-benar mati. Mesin tak bisa nyala, dan kapal feri milik PT. DDU itu tertahan di Pelabuhan Jangkar, Situbondo. Satu minggu lebih masyarakat Sapudi gelisah. Travel barang berhenti, kebutuhan pokok menipis, harga-harga melambung seperti ombak yang meninggi.

Pedagang merugi, nelayan kehilangan pasar, dan masyarakat hanya bisa mengeluh. Namun pemerintah? Diam. Tuli. Buta.

Suatu malam, di bawah cahaya lampu yang bergantung di rumah-rumah masyarakat Sapudi, Rendi berkumpul bersama Ridho dan Mas’ud.

“Kita harus bersuara!” kata Rendi lantang. “Pemerintah provinsi dan kabupaten tak boleh terus menutup mata. Kalau dibiarkan, pulau ini akan mati perlahan.”

Ridho mengangguk. “Lalu apa langkah kita, Ren?”

“Kita bagi tugas,” jawab Rendi tegas. “Aku akan viralkan di media. Biar semua orang tahu penderitaan kita. Ridho, kamu ikut menyebarkan lewat jaringan komunitas. Mas’ud, kau punya kenalan birokrat. Kau harus masuk ke dalam, tekan mereka, dari pusat sampai kabupaten!”

Mas’ud menghela napas panjang. “Berat, Ren. Tapi kalau kita tidak mulai, siapa lagi?”

“Betul,” sahut Rendi. “Lebih baik kita berteriak meski dianggap buih kecil, daripada tenggelam dalam diam.”

Minggu berganti bulan. Suara-suara itu tetap menggema, tapi pemerintah seakan tuli. Rendi dan kawan-kawannya sadar, bagi penguasa, Pulau Sapudi hanyalah buih kecil di samudera luas. Tak penting, tak mendesak, tak menguntungkan.

Namun mereka tak berhenti. Meski harapan kerap menggantung antara angan dan kenyataan, mereka terus melawan.

Rendi menatap senja lain di Pelabuhan Tarebung. Langit jingga kembali merekah, ombak berkejaran, angin berhembus. Di dadanya tumbuh sebuah harap dan doa:

“Suatu hari, Sapudi akan benar-benar dilihat. Suatu hari, pulau kecil ini tak lagi dianggap buih, tapi mutiara.”